Trunyan adalah nama sebuah desa yang berada di Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. Desa ini berjarak 13 km dari Panelokan dan 70 km dari kota Denpasar. Desa ini berada diseberang danau Batur dan dibawah Gunung Abang. Karena sulitnya medan menuju ke Desa Trunyan, maka Kendaraan Parkir di dermaga Kedisan dan melanjutkan perjalanan menuju ke Desa Trunyan Menggunakan perahu.

Makam Trunyan

Dari Dermaga Kedisan akan diantar ke desa dan kuburan Trunyan (Sema Wayah) dimana akan nampak disana mayat diletakkan didalam keranda bambu dibawah pohon dengan hanya tertutup kain sebatas badan dengan wajah masih kelihatan. Dibawah pohon juga terdapat tengkorak manusia yang diletakkan berjajar. Di kanan kiri nampak beberapa sisa sesajen dalam kelengkapan upacara Mepasah (Pemakaman). Dalam aturan desa, wanita asli desa Trunyan tidak diperkenankan ikut mengantar atau menghadiri prosesi, tapi jika wanita dari luar desa tetap diperbolehkan melihat bahkan ikut serta dalam kegiatan.

Makam Trunyan

Nama Trunyan jika diambil dari mitologi diambil dari kata Taru yang berarti Pohon dan menyan yang berarti wangi. Peluluhan pengucapan Tarumenyan menjadi Trunyan. Namun kajian nama ini hanya kebetulan yang dicocok cocokkan semata, karena jika dilihat dari kajian ilmiah belum ditemukan landasan referensinya, nama Trunyan sudah ada sejak abad 9 dan prosesi pemakaman disana memang demikian adanya dari awal berdirinya desa sedangkan mitologi desa ini berawal dari mitologi Dalem Solo yang datang itu terjadi pada abad 17 setelah runtuhnya Majapahit dan kekuasaan Mataram Islam yang kemudian disusul berdirinya Dalem Solo yang tentunya runut waktunya tidak selaras. Disamping itu jika nama Trunyan diambil dari nama pohon menyan, maka pohon menyan yang dimaksud yang kini ada di Trunyan bukanlah Pohon Menyan yang sebenarnya, karena Pohon Menyan memiliki nama ilmiah (Sytrax paralleloneurum) sedangkan pohon yang terdapat di Trunyan adalah tanaman yang berasal dari Genus Ficus dan Family Moraceae yang memiliki kedekatan dengan beringin. Dari getah dan ataupun kandungan didalam nya pun tidak meiliki kemiripan dengan pohon Menyan dan getahnya tidak memiliki bau harum.

Makam Trunyan

Namun jika dikaji dari segi Antropologi, nama Trunyan diambil dari kata Turunan, hal ini dilihat dari Prasasti peninggalan kerajaan Singamandawa berangka tahun saka 833/911M yang menyebutkan nama desa Turunan yang memiliki kemiripan pengucapan dengan Turunyan dan kini menjadi Trunyan. Hal ini pun sejalan dengan konsep pemujaan dimasa Pemerintahan Singamandawa dibawah Raja Gajawahana di Penglapuan Singamandawa, dimana penerapan ajaran agama Hindu dari Faham Agastya yang memuja Tuhan melalui Raja dan leluhur terdekat. Dari sinilah asal muasal masyarakat Trunyan menyebut Tuhan dengan nama penguasa daerah tersebut, dimana Hyang Datonta adalah penguasa Trunyan yang dimuliakan di Pura Pancering Jagat. Ajaran Agastya adalah penekun Sekte Bayu, dimana di Bali terdapat banyak sekte seperti Siwa, Waisnawa, Kasogatan, Ganapataya, dan Bayu adalah salah satu sekte yang memiliki prosesi ritual pada jenasah dengan mengembalikannya pada Hyang Bayu dan akan melebur terbawa angin yang dikenal dengan istilah "Mepasah" Sedangkan di daerah lain melakukan Tradisi "Ngaben" Sesuai sekte Agni atau "Nanem" dalam sekte Pertiwi. Sesungguhnya hakekatnya sama, hanya jalan yang ditempuh saja berbeda sesuai tradisi yang ada di masyarakat dan diyakini secara turun temurun.

Makam Trunyan

Pemakaman di desa Trunyan memiliki keunikannya tersendiri, dimana dalam istilah lokalnya dikenal dengan nama Mepasah. Terdapat tiga kuburan di desa Trunyan, pertama adalah sema Wayah, Kedua adalah sema Bantas, dan ketiga adalah sema Nguda. Sema wayah adalah kuburan yang digunakan untuk meletakkan jenasah di bawah pohon, dimana yang boleh dimakamkan disini adalah mereka yang meninggal secara wajar, tidak luka, kecelakaan atau bunuh diri. Selain itu sudah dewasa dan sudah menikah. Jumlah mayat yang boleh ada di Sema Wayah hanyalah 11 saja, jika ada orang orang ke 12 meninggal, maka mayat pertama yang ada disana akan diangkat, tengkoraknya diletakkan di bawah pohon dan sisa tulang belulangnya dikumpulkan ditepian kuburan. Kuburan kedua adalah sema Bantas, jika ada yang meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, dan kondisi tidak normal lainnya maka dimakamkan disini. Sedangkan jika ada yang meninggal muda atau sebelum menikah, maka akan dimakamkan di sema Nguda.