Tenganan adalah desa tradisional yang berlokasi di Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem. Berjarak 79 km dari Bandara Internasional I Gusti Ngura Rai dan 65 km di timur Kota Denpasar. Jika ditarik garis lurus, Tenganan berada 17 km dari kaki Gunung Agung di bagian tenggara. Karena itu Tenganan memang betul betul diapit oleh dataran tinggi dan desa berada di lembah di bagian Tengah. Dari sinilah nama desa Tenganan berasal.

Desa Tradisional Tenganan

Masyarakat Tenganan adalah masyarakat Bali Aga, ketika Maha Rsi Markandeya datang dari Jawa membawa masyarakat dari desa Aga di Kaki Gunung Raung. Masyarakat inilah yang di namai dengan nama Bali Aga. Sedangkan masyarakat Bali yang sudah ada lebih awal di kenal dengan nama masyarakat Bali Mula. Masyarakat Bali Aga adalah masyarakat yang kini ada di desa Sembiran, Trunyan dan Tenganan. Sedangkan masyarakat Bali Mula terdapat di desa Songan, Basangalas, Bedahulu, Pejeng, Tamblingan

Desa Tradisional Tenganan

Nama Tenganan diambil dari etimologi kata Tengahang, ketika pada masa Pemerintahan Bali dibawah tampu kekuasaan Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang bergelar Sri Tapolung, saat beliau naik Tahta dan menggelar upacara Rajasuya. Namun sebelum upacara digelar ternyata kuda yang akan dijadikan upacara ternyata terlepas dan lari ke arah timur. Pada masa itu yang menjabat posisi penting kerajaan adalah Ki Pasung Grigis sebagai Mangkubumi. Ki Kebo Iwa menjabat Patih di Blahbatuh, Ki Girikmana menjabat menteri di Desa Loring Giri Ularan (Buleleng), Ki Tambiak sebagai menteri di Jimbaran, Ki Buahan sebagai menteri di Batur, Ki Tunjung Biru sebagai menteri di Tianyar, Ki Kopang sebagai menteri di Sraya, Ki Walungsari bertugas di Taro, Ki Gudug Basur sebagai Tumenggung, Ki Kalambang sebagai Demung, Ki Kalagemet menjabat Tumenggung di Desa tangkas. Semua pejabat dan rakyat diperintahkan untuk mencari kuda tersebut dan akhirnya ditemukan oleh Ki Tunjung Tutur, namun kuda tersebut sudah dalam keadaan mati. Hal tersebut dilaporkan kepada Raja, kemudian Ki Tunjung Tutur dikarunia hadiah karena menemukan kuda tersebut dan diangkat sebagai menteri dengan daerah yang dipimpinnya sejauh bau bangkai kuda itu tercium. Munculah akal dari Ki Tunjung Tutur agar wilayahnya semakin luas, kaki kuda dibiarkan di selatan, dan sisanya disebar sampai jauh ketengah berbatasan bukit kangin di bagian Timur dan bukit kauh di bagian barat dan gunung Agung di utara dan meluaslah wilayahnya. Daerah itu berada di Tengahan dan hingga kini bernama Tenganan.

Tenganan Desa Tradisional

Ketika Pemerintahan Udayana dalam tatanan purohita Mpu Kuturan, terjadi banyak konflik antar sekte yang terjadi di Bali karena belum menyatunya pemahaman beragama Hindu di Bali yang datang bertahap. Terdapat banyak sekte yang kemudian pada tahap pertama digabungkan menjadi sembilan sekte utama yaitu Siwa Sidanta (Linggayat, Kalamukha, Bayu), Pasupata, Waisnawa (Krisna, Rama, Narayana, Indra), Sogata (Budha Mahayana, Hinayana), Brahmana (Agni, Brahma), Rsi, Sora, Gonapatya, Bhairawa. Tahap kedua menggabungkan seluruh Sekte Siwa (Ganapataya, Linggayat, Kalamukha, Bayu, Pasupata, Bhairawa), berikutnya Seluruh Sekte Wisnu (Waisna, Krisna, Rama, Indra, Narayana), Sogata (Budha) dan Brahma. Tahap ketiga menggabungkan pemahaman Ciwa dan Wisnu menjadi manunggal dengan sebutan Hari Hara "Ardha Nariswari" Dan digabungkan dengan Brahma yang kemudian dikenal dengan istilah Hyang Guru. Barulah tahap terakhir dengan menggabungkan dengan Budha yang melahirkan faham Hindu-Budha yang hingga kini menjadi Hindu Dharma yang dinamai dengan Agama Tirta atau lebih jelas dengan istilah "Sanathana Dharma" dan inilah yang membedakan Hindu di Bali yang sudah manunggal dengan Hindu India yang masih terpecah belah menjadi banyak sekte yang belum bisa didamaikan hingga kini. Setelah penyatuan Sekte ini, ternyata tidak didukung oleh desa Bali Aga, dimana desa Sembiran masih bertahan dengan keyakinan Pasupata, Trunyan masih bertahan dengan Bayu dan Tenganan masih bertahan dengan Indra. Inilah yang menyebabkan tempat peribatan dan tata adat dan ibadahnya berbeda dengan desa lain pada umumnya di Bali.

Tenganan Desa Tradisional

Desa tenganan adalah desa yang unik, mempertahankan kebudayaan turun temurun yang diwariskan leluhur sebagai tongkat estafet yang diteruskan pada generasi berikutnya. Penerapan Tri Hita Karana di desa Tenganan sangatlah seimbang, begitu memasuki desa akan nampak Pura disebelah kanan. Konsep Parahyangan dimana Tuhan dipuja dalam kesederhanaan dan sikap rendah hati, pura yang sederhana seperti halnya cara hidup masyarakat desa yang bersahaja, selain Pura Milik desa, disetiap rumah juga terdapat Merajan atau pura kecil sebagai tempat peribadatan setiap harinya. Konsep Pawongan pun dilakukan dengan baik, bukan hanya sesama masyarakat desa, tapi pada masyarakat asing dan wisatawan pun tercermin dengan penerimaan yang ramah. Konsep palemahan atau pada lingkungan hidup pun dapat terlihat dari konsep penjagaan lingkungan hidup disekitar desa terjaga dengan baik. Pohon, tanah, hutan, gunung dan sungai dijaga kebersihannya. Desa tradisional bukan berarti masyarakatnya primitif, tapi ditengah kehidupan modern dan teknologi tanpa melupakan apa yang dimiliki sebelumnya, masyarakat desa tetap melestarikan budaya dan tradisi yang dimiliki dalam kehidupan keseharian.

Tenganan Desa Tradisional

Pada Anggara Umanis minggu ke empat bulan Sadha. Masyarakat Desa Tenganan menyelenggarakan acara Usabha Sambah. Dimana para lelaki yang beranjak dewasa melakukan tradisi Perang Pandan sedangkan wanita melakukan upacara mesambah dengan menaiki ayunan putar. Perang pandan adalah bagian dari upacara Tabuh Rah, dimana pemuda desa Tenganan bertarung menggunakan perisai dari anyaman pandan dan pedangnya menggunakan ikatan daun pandan. Saling serang dan saling tangkis, dari darah yang tertumpah inilah yang diyakini akan menetralisir energi negative; inilah bukti ajaran sekte Indra atau dewa Perang masih bertahan di desa Tenganan. Setelah selesai dan terluka, maka petarung ini saling mengobati dengan cuka berisi parutan kunyit. Hal ini melatih mental dan keberanian, melatih jiwa sportifitas dan melepas dendam, tidak ada kemarahan atau dendam setelah tertarungan selesai. Disinilah simbol kedewasaan seorang lelaki dimana ia harus mampu mengatasi amarahnya. Setelah itu maka secara sah seorang lelaki dianggap telah dewasa.

Tenganan Desa Tradisional

Sedangkan untuk wanita yang beranjak dewasa, disebut Teruni Daha, delapan orang gadis duduk di ayunan yang diputar oleh dua orang lelaki, sebagai simbul dan pemahaman akan hakikat kehidupan. Dimana dalam hidup ini, setiap orang akan mengalami naik, puncak, turun, fase terendah sekalipun. Begitu juga siklus hidup, lahir, dewasa, menua lalu kematian. Inilah roda kehidupan yang akan dijalani, dan sebagai wanita dewasa agar selalu bisa memahami hal tersebut agar tidak takabur saat diatas dan tidak bersedih saat dibawah. Inilah yang membuat masyarakat Tenganan memiliki jiwa dan mental yang kuat, karena kemarahan bukan untuk dihilangkan namun dikenali, dikendalikan dan disalurkan pada saat yang tepat agar membawa manfaat. Dan siklus perputaran hidup harus dijalani dengan kematangan cara fikir dan cara melihat hidup ini.

Tenganan Desa Tradisional

Rumah yang seragam dibuat dan dirancang kebersahajaan yang dimiliki, tidaklah elok jika kita bermewah sedangkan saudara dan tetangga tidak berkecukupan. Maka dari itu rancangan rumah dibuat sama dan seragam, sehingga diharapkan bisa memunculkan rasa saling peduli dan bergotong royong dalam kehidupan keseharian, yang punya membantu yang kurang dan yang kekurangan terbuka meminta bantuan pada yang punya. Tanpa merendahkan atau merasa direndahkan, karena konsep masyarakat desa "briyak briyuk pakedek pakenyung" Yang artinya bersama sama berbagi kebahagiaan.

Tenganan Desa Tradisional

Tenun gringsing adalah salah satu tehnik tenun asli Bali dengan kualitas yang sangat baik. Diambil dari nama "gering" Yang berarti musibah dan "sing" Yang berarti tidak. Maka kata "Geringsing" Secara harafiah berarti keberuntungan, kebaikan, atau pembawa kebahagiaan. Tenun yang menggunakan sistem double ikat membuat kualitas kain tidak mudah rusak. Seperti pada tehnik pembuatan ndek ataupun songket, Geringsing menggunakan tehnik anyam berpola dalam pengerjaannya,tapi tehnik ikat gandanya membuat kain tidak mudah rusak, jika pada songket atau ndek jika satu benang putus maka akan berlanjut rusak akan membesar, tapi tidak demikian pada kain geringsing. Jika satu benang putus atau terdapat koyakan pada kain maka ikat gandanya mencegah rusak berlanjut. Namun pengerjaannya pun menghabiskan waktu dua kali lipat lebih lama sehingga harganya pun tidak bisa dijual dibawah harga songket atau pun ndek biasa.

Tenganan Desa Tradisional