Sangeh

Sangeh adalah nama sebuah desa di Kabupaten Badung yang berjarak 23 km di utara kota Denpasar.  Nama Sangeh diambil dari etimologi kata “Sang” yang merujuk kepada orang dan “Ngeh” yang berarti sadar. Maka secara harafiah Sangeh berarti Seseorang yang Sadar.  Sangeh memiliki daerah tujuan wisata yang unik berupa hutan yang dihuni oleh kawanan monyet. Hutan ini berupa hutan homogen seluas 10 hektar yang ditumbuhi tanaman Pala (Dipterocarpus trinervis) yang bijinya tak dapat dimakan. Di hutan homogen ini hidup beberapa spesies hewan diantaranya Monyet abu abu (Macaca faciculari) Alap alap (Elanus hypoleucu), Elang (Halioaster indus), Burung Hantu (Typte alba javanica), Terocok (Gouvier ahalis), Musang (Paradorurus hermaproditus), Kucing Hutan (Felis bengalensis) dan Sendanglawe (Ciconia episcepus).

Sangeh

Hutan Pala Sangeh mulai dirintis sebagai daerah tujuan wisata sejak 1 januari 1969 namun baru dibuka sebagai objek wisata umum yang dipungut retribusi sejak 1 januari 1996 berdasarka perda Tk II Badung No. 20 tahun 1995.

Sangeh

Selain hutan Pala dan monyet, kawasan wisata Sangeh juga memiliki keunikan berupa pohon lanang wadon, atau lelaki perempuan, dimana dalam kebudayaan Bali jika hendak membuat Topeng Sakral atau Kentongan untuk Pura, maka kayu yang digunakan tidak boleh didapat dengan menebang pohonnya, melainkan kayunya diambil namun pohonnya harus tetap hidup. Maka diambilah kayu dibagian tengah pohon yang menembus pohon di kedua arahnya, yang menyisakan lubang di tengahnya. Lubang ini lambat laun tertutup kembali oleh kulit pohon, namun lucunya setelah kulit pohon menutup kembali, disatu sisi lubang membentuk guratan seperti kemaluan lelaki dan pada sisi lain membentuk guratan yang menyerupai kemaluan wanita. Itulah kenapa hingga kini pohon tersebut dinamai Lanang Wadon.

Pohon lanang wadon sangeh

Di tengah hutan pala ini juga terdapat sebuah pura yang erat kaitannya dengan pemerintahan kerajaan Mengwi  dimana pada abad 17 Pura ini dibangun oleh Anank Agung Anglurah Made Karang Asem Sakti, putra angkat dari Cokorda Sakti Blambangan. Beliau bertapa “Rare” di kawasan hutan Pala ini, dari tapa nya beliau mendapatkan Wahyu dan anugrah berupa pencerahan atau kesadaran Spiritual, dari sinilah nama “Sang” “Ngeh” atau orang yang sadar itu berasal. Sehingga kemudian beliau membangun pura di tengah hutan Pala tersebut yang kemudian di beri nama Pura Bukit Sari.