Kopi menjadi tren masa kini, dimana disetiap tempat disediakan kopi untuk dinikmati. Negeri ini memang kaya akan sumber alam, termasuk kopi yang melimpah. Tapi tahukah kita jika kopi bukanlah tanaman asli dari Indonesia. Kopi adalah tanaman yang dibawa para penjajah dulu. Bukan tanpa alasan para Bangsa Penjajah datang ke negeri kita dulu. Selain untuk menguasai jalur perdagangan, mereka juga datang untuk kepentingan komoditi yang kita miliki. Seperti cendana di nusa tenggara timur, beras di lombok, rempah rempah di maluku, kayu di kalimantan, tambang di papua dan sumatra, begitu juga di Jawa, penjajah memaksa leluhur orang jawa dulu untuk menanam kayu jati karena sulitnya mencari kayu untuk memperbaiki perahu mereka yang rusak saat itu. Begitu juga alasan penjajah ke Bali adalah menjadikan Bali tempat menanam dan mengembangkan kopi. Tentu saja dalam hal ini penjajah datang dan memaksa leluhur kita untuk menanam apa yang mereka perlukan untuk dijual di pasar internasional. Harga kopi saat itu di pasar internasional sedang sangat tinggi, itulah kenapa kerja paksa dialami bangsa ini merubah hutan menjadi kebun kopi, cwngkeh dan rempah.
Tentunya hal itu bukan untuk kita sesali, hanya sebatas renungan dan pelajaran bagi generasi berikutnya kedepannya. Karena seburuk apapun suatu hal, pasti ada sisi baik dilain sisi. Hal itu karena setelah penjajah pergi, tentunya semua yang ditanam dahulu menjadi warisan untuk kita kini.

 

Kebun kopi bali

Sebut saja kopi, tanaman kopi bukanlah tanaman asli nusantara saat itu. Kopi adalah tanaman yang berasal dari Abyssinia, Ethiopia, Afrika. Pada awalnya, seorang gembala domba bernama Qaldi mendapati dombanya melompat lompat tanpa tahu lelah setelah memakan biji buah berwarna merah seperti bery, ia pun mencoba memakannya dan mendapati dirinya merasa segar dan kuat, hal ini disampaikan pada pendeta yang kemudian merebus dan meminum airnya dan mendapati hal yang sama. Hal ini menyebabkan rumor pun menyebar, dan diperdagangkan ke Arab pada tahun 575 masehi. Biji ini pun di Budidayakan di dataran tinggi Yaman, Arab. Maka dikenalah biji ini dengan nama "Qahwa". Arab pun melakukan ekslusifitas dalam penjualan kopi, arab pun melakukan monopoli penjualan dengan cara merebus terlebih dahulu kopi yang akan dijual, dan hanya menjual biji kopi di pelabuhan Mocca untuk mengendalikan pasar sehingga tidak dapat ditanam dan mencegah penyebaran kopi di tempat lain. Perdagangan dengan Turki menyebabkan kopi menyebar ke Eropa dengan harga yang tinggi, dalam Bahasa Turki dikenal dengan "Kaffa" yang kemudian diadaptasi ke Eropa menjadi "Coffe" yang sejatinya semua memiliki kemiripan bunyi. Sejak saat itu dikenalah kopi dengan istilah arabica

 

Pengolahan kopi bali


Belanda yang berupaya kuat agar bisa mengambil alih perdagangan kopi berupaya menyelundupkan biji kopi keluar Yaman, yang ternyata tidak dapat tumbuh di Eropa. Belanda berupaya mengembangkan kopi di daerah jajahannya, seperti di Sri Lanka pada 1658 yang ternyata tidak ada hasil. Tanaman kopi dari Sri Lanka inilah yang dibawa ke Jawa pada 1696 dan ternyata hasilnya luar biasa. Hal ini mengantarkan Belanda menjadi pengekspor kopi terbesar di dunia, mengalahkan dominasi Arab. Dan Jawa pun menjadi terkenal di Eropa dengan sebutan kopi dengan istilah "a cup of Java". Bukan hanya Jawa, Belanda pun menyebarkan kopi ke daerah lain, misalnya Bali.
Penyebaran kopi Arabica di Nusantara saat itu mengalami musibah hama karat daun Hemileia vastratix, maka untuk mengatasinya didatangkan lah bibit kopi Liberika pada 1878 yang ternyata berujung pada masalah yang sama. Akhirnya didatangkanlah jenis baru berikutnya yaitu Robusta pada 1907 dan berkembang dengan sangat baik. Kemudian dari kopi Liberika ini diturunakn jenis kopi berikutnya bernama Exelsa yang berkembang di Indonesia hingga kini.

Kopi Luwak


Namun kopi seperti emas saat itu, sangat berharga. Rakyat Indonesia hanya boleh menanam tanpa bisa mencoba meminumnya karena bayarannya bisa nyawa. Karena keingintahun seperti apa rasanya kopi, maka para petani melihat luwak memakan kopi dan mendapati yang dicerna hanya bagian kulit luarnya saja. Dari kopi yang tersisa oleh pencernaan Luwak, setelah kulit luarnya dicerna masih terdapat cangkang dan kulit ari didalamnya, setelah dicuci, dikupas dan dijemur lagi, kemudian disangrai menghasilkan kopi dengan rasa yang jauh lebih baik lagi. Rahasianya ada di pencernaan Luwak, dimana asam dalam perut luwak hanya mencerna kulit terluarnya saja, asam dan nutrisi buah lainnya mempengaruhi kualitas kopi melalui proses fermentasi anaerob didalam perut Luwak. Setelah keluar, dicuci, dikupas dan dijemur membuat biji kopi memiliki kualitas dan rasa yang berbeda.

Kopi Luwak Bali

 


Fakta yang terjadi bahwa luwak tidak selalu memakan biji kopi, luwak hanya akan memakan biji kopi saat musim dingin di bulan agustus dan september untuk menghangatkan badannya. Luwak hanya memakan biji kopi terbaik dan matang sempurna, mengakibatkan jumlah kopi Luwak sangat terbatas. Karena tingginya permintaan dan sedikitnya jumlah kopi Luwak yang tersedia mengakibatkan harga kopi Luwak di dunia menembus US$100 per 450gram.
Harga yang fantastis inilah yang mengakibatkan banyak pengusaha nakal yang mengandangkan Luwak dan memaksanya memakan biji kopi sepanjang tahun dan mengakibatkan luwak mati. Hal ini tentunya menuai kecaman Internasional sebagai animal abuse.

 

Luwak kandang


Untuk di Bali sendiri, pusat pembudidayaan kopi terdapat di dataran tinggi Bali Utara, Pacung, Bedugul, Penebel, dan Kintamani. Kendala yang dihadapi petani adalah kopi yang dihasilkan petani tidak mampu menjamin kesejahteraan petani. Hal ini dikarenakan pengepul yang membeli kopi dari petani dengan harga yang rwndah dimusim panen raya, kemudian menimbunnya hingga harga naik dan melepasnya ke pasar dengan harga yang tinggi.

Penyajian kopi Bali

Selanjutnya dari pemerintah melihat Pariwisata adalah potensi besar untuk membantu petani kopi di Bali. Berawal dari study pengamatan yang ada di Batu Malang, dimana wisatawan membeli apel langsung dari petani dan memetiknya sendiri dari kebun memberikan kebahagiaan tersendiri. Dari sinilah dimulai pelatihan diberikan pada para petani kopi, bagaimana cara mengolah kopi secara profesional, bagaimana menyiapkan hingga menyajikan kopi ala barista hingga dirasa layak untuk dijual. Dari sinilah point penting Pariwisata membawa manfaat langsung pada masyarakat, daripada membeli kopi yang sama seharga Rp. 150.000 per gelas di Cafe, bukankah lebih bermanfaat bagi masyarakat secara langsung jika membelinya di petani. Wisatawan pun tentunya mendapat harga yang lebih rendah karena tanpa perantara, petani pun mendaptkan uang langsung dari wisatawan. Tentunya jika wisatawan membeli kopi dari petani, uangnya tidak untuk membantu para Bos Pemilik Cafe membeli mobil baru besok, tapi membantu seorang ibu menyiapkan makan malam untuk keluarganya nanti dan membantu seorang ayah menyiapkan bekal sekolah anak anaknya esok hari. Simbiosis mutualisme pun terjadi sehingga masyarakatpun bisa ikut menikmati manfaat dari pariwisata secara langsung.