Berubahnya agama bhre wijaya (brawijaya) dan diskusi nya dengan sabdapalon

Home / Blog / Blog / Berubahnya agama bhre wijaya (brawijaya) dan diskusi nya dengan sabdapalon /
Berubahnya agama bhre wijaya (brawijaya) dan diskusi nya dengan sabdapalon
     5 / 10 Reviews
 1263 view

Sabdapalon

Banyak yang dihaturkan oleh Sunan Kalijaga sehingga Prabhu Brawijaya akhirnya tertarik dan berkenan memeluk agama Islam. Lantas kemudian Sunan Kalijaga memohon agar diperkenankan memotong rambut panjang Sang Prabhu akan tetapi tidak bisa terpotong saat digunting. Oleh karenanya Sunan Kalijaga lantas menyarankan agar Sang Prabhu benar-benar sungguh-sungguh masuk Islam lahir batin. Sebab jika hanya lahir saja, rambut tidak akan mempan digunting. Sang Prabhu lantas berkata bahwa dirinya sudah lahir batin, oleh karenanya rambut lantas bisa dipotong.
Selesai dipotong rambutnya Sang Prabhu lantas berkata kepada Sabda Palon dan Naya Genggong, “Kalian semua aku jadikan saksi, bahwa mulai hari ini aku meninggalkan agama Buda dan memeluk agama Islam. Menyebut asma Allah Yang Sejati. Keinginanku, kalian berdua aku harapkan ikut berganti memeluk agama Rasul dan meninggalkan agama Buda!”
Sedih Sabda Palon menjawab, “ Hamba ini adalah Raja Dang Hyang (makhluk gaib) yang menjaga tanah Jawa. Siapapun yang menjadi Raja, adalah momongan hamba. Mulai dari leluhur paduka dulu, yaitu Wiku Manumanasa, Raden Sakutrem hingga Bambang Sakri, turun temurun hingga sekarang ini, semua menjadi momongan hamba dan hamba ajari ajaran Jawa sejati. Jika hamba tidur, mampu tidur selama 200 tahun. Selama saya tidur di Jawa akan banyak terjadi peperangan antar saudara. Yang kuat akan memangsa sesame manusia, menghancurkan sesame bangsanya sendiri. Hingga sat ini usia hamba 2003 tahun. Hamba telah momong ajaran Jawa, semua yang hamba momong selama ini tak ada yang berubah agamanya. Memegang teguh agama Buda. Hanya paduka sekarang saja yang berani meninggalkan ajaran leluhur Jawa. Jawa artinya paham , yang sudah paham disebut Jawan (Sadar). Sadar bahwa badan sejati ini hanya sementara tinggal didunia, tujuannya adalah meraih moksha!”
Ucapan Wiku Utama dibarengi seketika oleh suara gemuruh guntur!
Sang Prabhu Brawijaya oleh para Dewa disindir karena telah memeluk agama Rasul. Tiga sindiran yang muncul di bhumi Jawa mulai sat itu adalah 1. Suket Jawan (Rumput Jawan), 2. Pari Randhanunut (Padi Randhanunut, Randha : Janda, Nunut : ikut tinggal/Numpang Randhanunut ~ Seorang jandha yang ikut tinggal/numpang hidup) dan 3. Pari Mriyi (Padi Mriyi).
(Konon mulai saat itulah muncul Padi dan Rumput dengan nama seperti diatas. Rumput Jawan, maksudnya Kesadaran yang telah rendah serendah rumput yang bisa diinjak-injak. Padi Randhanunut, maksudnya padi/makanan batin/ajaran agama milik seorang janda yang tinggal numpang dirumah seseorang, alias kebenaran yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang kehilangan pasangan sejati/Tuhan yang numpang di Jawa dan Padi Mriyi adalah Padi yang kecil-kecil, maksudnya makanan batin/ajaran yang masih berupa jenis yang kecil : Damar Shashangka)
Sang Prabhu berkata lagi, “Aku Tanya lagi bagaimana niatanmu, mau atau tidak meninggalkan agama Buda berganti memeluk agama Rasul. Menyebut nama Nabi Muhammad Rasulullah, panutan para Nabi dan menyebut asma Allah Yang Sejati?”
Sabda Palon sedih berkata,”Silakan paduka sendiri saja yang masuk, hamba tidak tega melihat kelakuan sia-sia mereka, seperti watak orang Arab. Sia-sia artinya suka menghukum (menghakimi), menghakimi semua yang berbadan. Jikalau hamba berganti agama, jelas akan membuat tak berguna tujuan moksha hamba kelak. Yang mengaku paling mulia itu hanya orang Arab saja dan diikuti oleh orang Islam semua. Memuji dan meninggikan kelompoknya sendiri. Menurut hamba lebih baik tidak usah mengurusi (menghakimi) tetangga (agama lain). Perbuatan semacam itu (suka menghakimi agama lain) hanya akan menunjukkan rendahnya pemahaman diri. Saya tetap menyukai agama lama, tetap suka menyebut Tuhan dengan nama Dewa Yang Maha Lebih!”
Semesta ini adalah perwujudan dari Dewa yang mempunyai sifat Maha Sadar dan Maha Berkehendak. Sudah menjadi kewajiban manusia agar senantiasa berpegang pada Kewaspadaan diri dan Kesadaran diri untuk terus dapat mengamati keinginan-keinginan (liar) diri sendiri supaya tidak sia-sia dalam menjalani kehidupan. Apabila paduka memilih menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, (maka mohon dengarkan) , seperti yang sudah dikatakan oleh Sunan Kalijaga bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah Roh yang bagaikan makam, makam dari segala gejolak batin manusia yang buruk. Gejolak batin yang liar dan seringkali kita agung-agungkan. Bisa juga disimbolkan sebagai kuburan, kuburan dari segala kenikmatan ragawi, rasa kenikmatan raga yang berasal dari unsur tanah ini. (Muhammad atau Roh disimbolkan sebagai ) Kuburan dari segala sifat badani, sifat yang hanya ingin menikmati makanan (kenikmatan) yang enak-enak, dan sifat yang tidak merenungkan bagaimana keberadaan diri nanti pada akhirnya (jika sudah meninggal). Benarlah jikalau Muhamad (Roh) adalah makam kubur dari segala macam kecenderungan liar manusia. Muhammad juga (bisa dilambangkan) sebagai Roh Idhofi, maksudnya Ruh yang dilapisi oleh segala kecenderungan negatif. Kecenderungan negatif yang suatu saat akan sirna kembali ke asalnya lagi (maksudnya selain bisa dianalogikan sebagai kubur/makam segala gejolak batin manusia, Muhammad/Roh juga bisa dianalogikan sebuah kesucian yang terlapisi kekotoran : Damar Shashangka). (Jadi apa yang dijelaskan Sunan Kalijaga sebenarnya sama saja dengan ajaran Buda tentang Atma atau Badan Sejati), Sekarang saya bertanya, paduka Prabhu Brawijaya memilih untuk meyakini/menganut yang mana? (Dengarkanlah lagi, oh paduka), Adam dan Hyang Brahim (Ibrahim ~ Adam leluhur manusia, Ibrahim leluhur orang Arab dan orang Israel) sama-sama ‘kebrahen’ (berkeinginan besar untuk memiliki keturunan banyak) saat mereka berdua masih hidup dulu. Merekalah yang memperbanyak makhluk-makhluk fana, makhluk fana yang sulit menemukan ‘kesejatian’ rasa, makhluk-makhluk fana yang hanya cenderung terjebak rasa badani belaka. Makhluk fana yang disebut Muhammadun yaitu Ruh yang terlapisi kekotoran duniawi, Ruh yang menjadi kuburan dari segala macam gejolak batin yang liar. Ruh yang menurunkan Kesadaran kecil dan mewujud dalam bentuk manusia yang memiliki segala rasa ini. (Bukankah sama juga dengan kisah Manu leluhur manusia sesuai ajaran Buda?). Manakala kelak diambil kembali segala yang fana ini (yaitu badan halus yang memiliki kecenderungan liar dan badan kasar yang suka menikmati kenikmatan inderawi) oleh Yang Maha Kuasa, diri paduka yang berwujud manusia akan tinggal wujud JADI (maksudnya wujud Sejati/Ruh/Atma). Itulah wujud kita pribadi (yang sejati). Untuk bisa terlepas dari badan halus dan badan kasar, harus dengan lantaran menjauhi segala kecenderungan buruk. Ayah dan Ibu tidak membuat wujud Sejati ini, makanya dinamakan ‘anak’ (anak ~ ana anane dhewek : ada dengan sendirinya :Damar Shashangka), mewujud dengan sendirinya, menjadi dari sesuatu yang gaib dan samar, atas kehendak Lattawalhuzza (penyebutan nama ini demi menyindir Sunan Kalijaga, dimana umat Islam sangat membenci Lattawalhuzza. Sabda Palon sengaja menghindari penyebutan Hyang Widdhi atau Brahman. Lattawalhuzza adalah nama berhala yang disembah orang Arab sebelum Islam muncul dan dianggap memiliki saham dalam penciptaan manusia. Maksud Sabda Palon sebenarnya, atas kehendak Yang Tak Tergambarkan, diri kita adalah percikan dari Yang Tergambarkan tersebut : Damar Shashangka). Dia-lah yang meliputi segala wujud ini. Dan seluruh wujud ini semua sebenarnya adalah wujud-Nya juga. Kelak segalanya akan sirna dan kembali ditarik kepada wujud-Nya, (sesunguhnya kita ini tak ada) lantas yang paduka miliki hanya perasaan bahwa diri ini 'ada' dan berwujud sendiri diluar wujud-Nya, itulah pemahaman keliru yang kita bawa kemana-mana. Jika memiliki ketetapan hati yang keliru sedemikian itu, maka pada saat kematian tiba, akan menjadi Roh penasaran (demit) yang berkeliaran diatas tanah, menunggui jasadnya sendiri yang sudah busuk terkubur, sungguh sia-sia. Itulah salah satu akibat kurangnya Kesadaran dan wawasan dari sang Roh. Saat hidup dulu belum sempat memakan buah pohon Pengetahuan dan buah pohon Kesadaran, sama saja memasrahkan diri kelak jika meninggal untuk lahir manjadi setan (Roh Penasaran). Memakan tanah atau mengharap-harap manusia lain memberikan sesajian dan mengharapkan upacara selamatan untuk kematiannya (karena hanya sesajian dan doa waktu upacara selamatan yang dilakukan keluarganya saja yang bisa memuaskan dahaga sang Roh penasaranh tersebut : Damar Shashangka), dan sebagai ucapan terima kasih, Roh semacam ini akan berusaha memenuhi permintaan anak cucunya walau sesungguhnya malah membikin kesesatan bagi mereka. Manusia yang meninggal dunia, selamat atau tidaknya tidak berdasarkan hukum Raja duniawi;. Sudah pasti suksma (badan halus) berpisah dengan Buddhi (Kesadaran Roh). Jika perbuatannya dulu penuh kebaikan, tentu akan mendapatkan kemuliaan, jika sebaliknya pasti akan mendapatkan penderitaan (jadi bukan ditentukan oleh agama atau hukum dari penguasa duniawi). (Maksud Sabda Palon, untuk memperoleh Kesejatian, harus dimulai dengan pemahaman bahwa diri ini hanyalah perwujudan-Nya, kita ini tak ada. Kemudian harus melakukan perbuatan yang baik selama hidup. Kesejatian bukan didapat dari berpindah-pindah agama seperti itu : Damar Shashangka). Sekarang jawablah jika telah meninggal anda hendak pergi kemana (sesuai ajaran yang baru anda terima)?”
Sang Prabhu menjawab, “Kembali ke asal mulaku, berasal dari Nur (Cahaya) akan kembali menuju Nur (Cahaya).”
Sabda Palon berkata lagi : “Itu pemahaman manusia bingung, hidupnya sia-sia, tidak memiliki pemahaman akan kewaspadaan diri, belum pernah memakan buah pengetahuan dan buah kesadaran, dari satu kembali menuju satu. Apa yang paduka sebutkan bukanlah kematian yang utama. Kematian dari manusia utama bisa dilambangkan dengan kalimat SATUS TELUNG PULUH (Seratus tiga puluh). Makna SATUS adalah PUTUS (Melampaui), TELU adalah TILAS (Tanpa bekas), PULUH adalah PULIH (Pulih kembali). Seluruh wujudnya rusak, akan tetapi yang rusak adalah yang melekati Roh Idhafi. Hidupnya abadi, hanya jasad kasar beserta suksma (jasad halus) yang terpisahkan dari kita. Inilah hakikat Sahadat tanpa Ashadu (Kesaksian tanpa ada subyek maupun obyek yang dipersaksikan), wujud kita kembali menjadi bagian Roh Idhafi. Bagaikan bulan yang tenggelam, tahu kemana tepat tenggelamnya yang tepat. Demikian pula kita manusia harus tahu asal mula tempat kita sebelum menjadi manusia. Kata SURUP (Tengelam) mengandung makna SUMURUPA (Ketahuilah) awal, pertengahan dan akhir kehidupan ini. Jadilah pengembara yang waspada, jangan sampai salah saat memahami awal mula tempat kita dulu, awal mula pertama kali meenjadi manusia yang membawa SIR (Keinginan) dan CIPTA (Pikiran) ini.”
Sang Prabhu berkata : “Pikiranku aku sandarkan kepada manusia yang lebih/mulia.”
Sabda Palon berkata : “Itu sikap dari seorang manusia yang tersesat. Bagaikan benalu yang menempel pada pohon-pohon besar. Tidak percaya pada diri sendiri. Mempercayai kemuliaan orang dan menurut apa yang mereka katakan. Jika demikian halnya, paduka tak akan dapat menemukan kematian yang utama. Hanya akan mendapatkan kematian nista. Semenjak hidup sukanya menempel orang lain, mengikut, tidak mempercayai diri sendiri, kelak jika meninggal-pun akan mengalami hal serupa, menjadi Roh yang kesana-menari menempel, jika diusir lantas kebingungan, penasaran, menjadi Roh penasaran, dan mencari tempat menempel lainnya!”
Sang Prabhu berkata lagi : “Aku berasal dari kosong akan kembali kekosongan. Saat aku belum menjadi, tidak ada apa-apa, jadi kelak aku juga akan menuju kepada kosong tersebut!”
Sabda Palon menjawab, “Itu kematian manusia yang tersesat, tidak memakai iman dan ilmu (keyakinan dan pengetahuan. Sabda Palon sengaja menunjukkan istilah-istilah Arab demi menunjukkan bahwa dirinya juga memahami ajaran baru Sang Prabhu : Damar Shashangja). Hidup hanya seperti binatang, hanya sekedar mencari makan dan minum serta hanya sekedar menikmati tidur. Manusia yang demikian hanya menimbun daging, sangat bodoh. Tidak usah mencari pengetahuan kesejatian, cukup meminum air kencing saja sudah puas. Mereka menganggap kelak jika meninggal sirna juga dirinya.”
Sang Prabhu : “Aku akan menjaga pekuburan, menjaga jasadku yang sudah luluh jadi debu!”
Sabda Palon : “Itulah kematian manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menjaga daging dipekuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah. Tidak memahami bahwa dirinya adalah Roh Idhafi. Itulah jawaban manusia bodoh, maaf paduka!”
Sang Prabhu menjawab lagi : “Aku akan moksha beserta ragaku!”
Sabda Palon tertawa, “ Dalam ajaran agama Rasul tidak ada tuntunan meraih moksha. Tidak ada tuntunan menarik jasad fisik, karena kebanyakan golongan mereka terlalu memanjakan kulit daging (hukum agama semata). Dan lagi moksha beserta raga itu tidak diajarkan dalam ajaran Buda. Manakala manusia mati dan tidak meninggalkan jasad, berarti tidak bisa diyakinkan apakah dia memang sudah mati atau hanya sekedar berpindah alam saja. Belum bisa dipastikan akan mewujud menjadi Roh Idhafi murni, kebanyakan hanya akan berpindah alam kealam demit (Jin).”
Jawaban Sang Prabhu : “Aku tidak akan memilih tujuan, aku tak akan berusaha, sudahlah terserah Yang Maha Kuasa saja!”
Sabda Palon : “Paduka melupakan sifat kemanusiaan paduka, apakah paduka lupa bahwa manusia dijadikan sebagai titah yang mulia. Paduka telah meninggalkan keharusan sebagai manusia. Manusia memiliki hak untuk memilih dan menolak. Lebih baik menjadi batu saja, jadi tidak perlu mencari ilmu kemuliaan untuk meraih kesempurnan kematian!”
Sang Prabhu : “Aku berkehendak pulang ke akhirat, naik surga, menghadap kepada Yang Maha Kuasa.”
Sando Palon menjawab : Akherat, surga, semua sudah paduka bawa dalam diri paduka, telah paduka bawa kemanapun juga. Didalam diri manusia ini sesungguhnya semua sudah ada, oleh karenanya diri manusia juga disebut alam sahir (mikrokosmos) karena apa yang ada di alam kabir (makrokosmos), juga ada didalam diri manusia. Sudah semenjak tapel Adam (didalam kandungan usia 9 bulan), semua sudah lengkap : surga, neraka, arasy kursi. Lantas paduka hendak pergi ke akherat yang mana? Jangan sampai tersesat, lho? Padahal kondisi akherat (diluar diri manusia) itu mirip sekali dengan kondisi manusia yang melarat. Banyak tingkatan akherat (yang ada diluar diri manusia), segala akherat semacam itu sangat saya hindari, jangan sampai saya pulang ketempat yang kondisinya bagaikan kondisi manusia melarat, jangan sampai saya menuju akherat diluar diri yang konon disebut Negara yang adil (padahal bukan). Jikalau sampai salah tempat, pasti akan mendapat hukuman, pasti akan diikat, disuruh kerja paksa yang berat serta tidak mendapatkan bayaran. Salah satu akherat yang sesat adalah akherat di pulau Srenggi, nusa artinya tempat manusia, sreng artinya kerja berat dan enggi artinya kondisi.
Jadi disana, roh manusia dipaksa bekerja untuk Raja Nusa Srenggi. Sungguh celaka. Sedangkan manusia yang hidup didunia saja jikalau mengalami kondisi semacam itu, mengalami kondisi sekeluarga hanya mendapatkan jatah beras sedikit, tanpa lauk, tanpa sayur, sudah demikian menyedihkannya, apalagi akherat tempat manusia yang meninggal di nusa Srenggi, malah lebih menyedihkan dari kodisi didunia. Paduka jangan mencari jalan pulang ke akherat yang ada diluar diri, jangan mengharap-harapkan naik surga, itu bukan tempat sejati, banyak hewan yang ada ditempat itu, semua hanya menerima tidur dengan berselimut tanah, setiap hari harus menurut untuk bekerja paksa, malah ada yang tidak salah lantas disembelih. Paduka jangan mencari jalan pulang ke akherat tempat Gusti Allah, (itu bohong, sebab Gusti Allah tidak bertempat), Gusti Allah itu tak ber-Wujud dan ber-Rupa, Wujud yang bisa dikenali manusia hanya Nama-Nya saja, (Gusti Allah itu) meliputi dunia dan akherat, paduka belum mengenal-Nya. Yang paduka kenali hanya perwujudan-Nya serupa cahaya bintang atau serupa cahaya bulan, atau perwujudan-Nya bagaikan dua cahaya bintang dan bulan yang menyatu. Gusti Allah itu tidak menyatu juga tidak pisah dengan kita, sangat jauh tanpa batasan tetapi juga dekat namun tak bersentuhan dengan kita. Hamba saja belum bisa menguak inti-Nya, apalagi paduka. Nabi Musa (yang diagung-agungkan orang Yahudi, Kristiani dan Islam sebagai Nabi yang mampu berbicara langsung dengan Allah : Damar Shashangga) saja tidak mampu melihat Wajah-Nya. Gusti Allah itu melampaui segala yang terlihat tetapi Dzat-Nya menyelimuti segala perwujudan ini. Paduka ini adalah manusia yang berasal dari benih Ruhani (percikan-Nya) jadi mengapa ingin menjadi seperti Malaikat yang tinggal disurga segala? Raga manusia berasal dari nutfah (air mani/sperma), jika sudah rusak akan terurai kembali kepada Hyang Latawalhuzza (kembali Sabda Palon menggunakan istilah Lattawalhuzza). Jika raga sudah tua, lebih baik meminta untuk mendapatkan raga baru (dan lahir menjadi manusia lagi, bukan malah ingin hidup di surga), sehingga tidak bolak-balik tertunda (perjalanan Punarbhawa/evolusi Ruh dalam wujud selain manusia) walaupun memang harus tetap lahir dan mati. Yang dimaksud hidup sebagai makhluk itu jika nafas terlihat masih ada, akan tetapi sesungguhnya yang disebut HIDUP itu adalah Yang Abadi, Yang Stabil dan Yang Tak Berubah selamanya. Jadi yang mati hanya raga semata. Raga hancur dan tidak lagi bisa merasakan kenikmatan. Oleh karenanya bagi yang beragama Buda, manakala kematian menjelang, saat suksma (dan Hidup/Atma) keluar dari raga, lebih baik meminta raga manusia yang baru, kembali lahir melalui nutfah manusia (tidak malah mengharapkan lahir dialam surga menjadi makhluk lain). Diri sejati manusia ini kekal, tidak berubah dan stabil, yang berubah itu hanya tempat indriya/rasa (maksudnya suksma dan raga), tubuh materi yang hanya bayangan dari Roh Idhafi (Atma/Hidup) itu sendiri.
Sesungguhnya yang dinamakan Prabhu Brawijaya itu tidak juga tua dan tidak juga muda, abadi berada dipusat semesta, berjalan tapi tiada bergerak dari kedudukan semula, berada didalam goa sir (kehendak) dan cipta (pikiran) yang hening (maksudnya diselimuti oleh sir/kehendak dan cipta/pikiran : Damar Shashangka). Bawalah bawaanmu yang sesungguhnya (Kesadaran), bawaan yang tanpa adanya Raga. Hilang segala tulisan. Seluruh perhitungan manakala dijumlah menjadi Kumpul (Menyatu), keterpisahan dengan duniawi menjadikan murni. Jalan kesempurnaan kematian, fokus pada detak jantung disebelah kiri saat kematian menjelang, disanalah jalan sirnanya sir dan cipta (kehendak dan pikiran), kembali menuju cetha (yang nyata ~ lambang KANG GAWE URIP/Atma), cethik (yang membuat ~ lambang KANG NGURIPI/PURUSHA/Nur Muhammad/Nukat Gaib), cethak (yang maha tinggi ~ lambang URIP/Brahman/Allah). Inilah kesempurnaan ilmu orang Buda.
Terciptanya Roh mulai dari cethak (yang tinggi), berhenti didalam cethik (yang membuat) keluar lewat kalamwadi (ucapan rahasia/penis ~ atau cetha/yang nyata), hanyut dalam lautan cinta masuk kedalam goa Indrakila wanita (Indra : Sarana merasakan sensasi ragawi, Kila/Kukila : Burung ~ Tempat merasakan sensasi penis ~ Goa Indrakila artinya Vagina : Damar Shashangka), jatuhnya nikmat didasar bumi kasih, disana Ki Budi (Kesadaran Roh) menciptakan istana Baitullah (Rumah Tuhan ~ yaitu suksma dan raga manusia) yang mulia. Tercipta dari sabda KUN (Jadi) dan berdiam ditengah semesta disurga orang tua wanita. Oleh karenanya manusia seyogyanya tetap berdiam ditengah semseta (maksudnya stabil Kesadarannya). Jagad manusia itu dilekati apa yang disebut goa sir (kehendak) dan cipta (pikiran), dibawa kemana-mana tiada juga berkurang dan usia manusia sudah ditentukan oleh karma, tidak bisa berubah, sudah tertulis didalam Laukhil Makfudz (Kitab Nasib. Kitab Nasib sesungguhnya adalah Alam Semesta yang merekam segala perbuatan kita : Damar Shashangka). Keberuntungan dan Kecelakaan tergantung pada Budi (Kesadaran), Nalar (Pertimbangan) dan Kawruh (Wawasan) kita sendiri. Yang kurang berusaha (menimbun kebaikan), bakalan kurang pula Keberuntungannya.
Awal mula arah mata angin, dihitung dari arah timur lantas barat, selatan dan utara. Wetan (Timur) lambang : Wiwitan manusa maujud (awal mula manusia mewujud), Kulon (Barat) lambang : Lelaki berhasrat untuk bercinta (Kelonan), Kidul (Selatan) lambang : Wanita disogok bagian selangkangannya tepat ditengah (Didudul), Lor (Utara) lambang : Jabang bayi lahir (Lair). Dilambangkan lagi TANGGAL SAPISAN KAPURNAMAN, SENTEG SAPISAN TENUNAN SAMPUN NIGASI (KELUAR SEKALI SUDAH PURNAMA, SEKALI HENTAK TENUNAN KAIN SUDAH MENJADI ~ Maksudnya mengambarkan penciptaan manusia dalam sebuah persenggamaan. Sekali memancarnya sperma kedalam rahim, sudah cukup membuat seluruh wadah bagi Roh mulai tercipta : Damar Shashangka) Pur artinya Kumpul/Menyatu, Na artinya Adanya wujud, Ma artinya Terikat oleh wujud. Yang dimaksud Kumpul artinya begitu memancar sperma semua lengkap menyatu, yaitu menyatunya segala materi fisik dan materi non fisik. Keluarnya/Lahirnya manusia melalui orang tua perempuan, bersamaan keluarnya saudara yang bernama Kakang Mbarep (Kakang Kawah) dan Adhine Wuragil (Adhi AriAri). Kakang Mbarep tak lain adalah Kawah (Ketuban) sedangkan Adine Wuragil tak lain adalah Ari-Ari (Usus terakhir yang menempel dipusar/tali pusar). Keduanya muncul pertama dan terakhir kali (Ketuban pecah dulu, baru keluar Darah, kemudian Jabang Bayi, lantas Plasenta dan terakhir Tali Pusar atau Ari-Ari : Damar Shashangka). Ketahuilah sang paduka, saudara kita yang keluar bersamaan dengan kita, senantiasa menjaga kita bagaikan matahari yang terus bersinar, berwujud cahaya, membantu Kesadaran, mampu menyertai Kesadaran untuk hidup didunia yang penuh beraneka warna perwujudan ini, saat keluar dan saat peleburan mereka seyogyanya diketahui, inilah pengetahuan orang Jawa yang beragama Buda. Raga ini diibaratkan perahu, sedangkan suksma (badan halus/sadulur papat tadi) ibarat manusia yang mengendalikan perahu, yang menentukan arah hendak kemana, jikalau laju perahu salah arah, pasti akan menemui kecelakaan, perahu pecah, yang menaiki akhirnya juga hancur.
Oleh karenanya harus waspada dan penuh kesadaran, mumpung perahu masih berfungsi, manakala tidak waspada dan penuh kesadaran pada saat hidup ini, mana mungkin bisa waspada dan sadar jika sudah meninggal nanti. Sadar untuk mencari asal usul manusia. Manakala telah rusak/mati, seharusnya suksma juga berpisah dengan Kesadaran Roh. Inilah yang dinamakah Sahadat, pisahnya Kawula dengan Gusti. Sah bisa dimaknai Pisah, Dat bisa dimaknai Dzat Gusti. Jikalau Raga dan Suksma telah berpisah (namun Suksma dengan Bud/Kesadarani/Atma, belum mampu berpisah) maka Kesadaran Roh akan berganti Baitullah (Rumah Tuhan atau Badan fisik baru ~ Punarjanma/Reinkarnasi). Kembali hidup dengan bertalikan nafas dan wajib terus memuji kebesaran Gusti (agar selamat dalam penjelmaan baru itu). Manakala Raga berpisah dengan Suksma dan Suksma berpisah dengan Budi (Kesadaran Roh), maka akan menjelma kepada yang tidak berwujud apapun, menyatu, menjadi maha besar, dan tiada akan redup cahayanya untuk selamanya. Oleh karenanya harus senantiasa waspada, senantiasa ingat akan asal usul Kawula. Seorang Kawula juga wajib meminta kepada Gusti, meminta Baitullah (Rumah Tuhan/Badan manusia) yang baru dan yang lebih baik, melebihi yang sudah rusak. Raga manusia inilah Baitullah, atau juga bisa diibaratkan Perahu buatan Allah, menjadi dari sabda KUN. Namun, Perahu manusia Jawa mampu berganti dengan Perahu yang baru (Reinkarnasi). Sedangkan orang Islam tidak meyakini bisa mendapat Perahu baru, jikalau sudah meninggal nanti, maka mereka yakin tidak akan menjelma kealam dunia lagi, tak ada manusia yang menjelma kembali, menurut mereka jika manusia bisa menjelma, dunia akan terus bertambah dan akan penuh sesak. Kehidupan menurut mereka hanya sekedar menjadi muda, tua dan mati saja. Ketahuilah paduka, walaupun Roh manusia, manakala sesat perbuatannya, kelak jika meninggal akan menjelma menjadi kuwuk (binatang laut), akan tetapi Roh hewan, bisa menjelma menjadi manusia. Semua sudah tertata dalam hukum keadilan Yang Maha Kuasa, setiap makhluk akan mendapatkan hasil perbuatan dari apa yang dilakukannya.
Dikala Bathara Wishnu menjelma menjadi Raja di Kerajaan Medhang Kasapta dulu, seluruh hewan dan makhluk halus dibantu menjelma menjadi manusia, semua lantas dijadikan bala tentara Sang Raja. Kala Eyang paduka Rsi Palasara membangun kerajaan di Gajahoya, seluruh binatang dan makhluk halus juga dibantu menjelma mendaji manusia, oleh karenanya waktu itu bau badan tiap manusia berbeda-beda, sesuai bau badan saat masih berwujud hewan atau makhluk halus sebelumnya.
Tersebut dalam Serat Tapak Hyang, yang juga disebut dengan Sastrajendrayuningrat, Serat yang tercipta dari Sabda Kun (maksudnya berasal dari wahyu juga), yang dinamakan JITHOK (KUDUK MANUSIA) sesungguhnya bermakna pu-JI THOK (Hanya Pujian semata). Dewa Yang Agung, yang telah menciptakan cahaya menyala yang menyelimuti sekujur tubuh manusia sesungguhnya ada dekat, sedekat dengan kuduk manusia. (Kuduk manusia sangat dekat, namun sulit manusia melihat kuduknya sendiri kalau tidak bercermin). JILING (KENING) sesungguhnya bermakna pu-JI e-LING (Memuji dan Ingat) kepada Gusti. PUNUK (BAHU) sesungguhnya bermakna PANAKNA (TEMPATKANLAH ~ maksudnya Tempatkanlah Kesadaran kamu pada posisi yang sesungguhnya). TIMBANGAN (TULANG BAHU YANG MENONJOL) sesungguhnya bermakna SALANG (Terhubung ~ maksudnya Terhubung dengan Gusti). PUNDHAK (PUNDAK) sesungguhnya bermakna PANDUK (Mencari), hidup dialam dunia ini hanya mencari dua hal, Buah Pengetahuan dan Buah Kuldi (Keduniawian), jika mendapatkan banyak Buah Kuldi, hasilnya akan gemuk, jika mendapatkan Buah Pengetahuan yang banyak, bisa dibuat bekal untuk hidup, HIDUP YANG KEKAL ABADI YANG TIDAK TERKENA MATI. TEPAK (DADA) sesungguhnya bermakna TEPA TAPANIRA (Tetapkan Tapa-mu). WALIKAT (BELIKAT) sesungguhnya bermakna WALIKANE GESANG (Dibalik Hidup). ULA-ULA (TULANG BELAKANG MANUSIA) sesungguhnya bermakna ULATANA (Perhatikanlah dengan seksama), amatilah punggungmu dengan seksama (maksudnya amatilah sesuatu yang dekat denganmu tapi sulit untuk dilihat secara langsung seperti halnya punggung kita). SUNGSUM (SUMSUM TULANG) sesungguhnya bermakna SUNGSUNGEN (Persembahkanlah ~ maksudnya, Persembahkanlah kehidupanmu bagi Gusti ). LAMBUNG sesungguhnya bermakna, Dewa Yang Maha Agung yang menciptakan alam ini secara bersambungan, bersambungan antara INGAT-LUPA, HIDUP-MATI (maksudnya Rwabhineda atau Dualitas duniawi). LEMPENG (BAGIAN PINGGIR PERUT) kiri dan kanan, maksudnya Kuatkan tekad dan LEMPENG (LURUS)-kanlah tekadmu lahir batin, luruskanlah agar bisa membedakan mana benar dan mana salah, mana baik dan mana buruk. MATA maksudnya lihatlah semuanya ini dengan kesatuan batin yang utuh, lihatlah kiblat yang benar, banyak kiblat namun yang benar hanyalah satu saja. TENGEN (KANAN) maksudnya TENGENEN (Benar-benar utamakan) hingga jelas dan terang, bahwasanya didunia ini hanya sekedar memakai Raga fana semata, Raga yang tidak susah-susah membuat sendiri dan tidak juga beli. KIWA (KIRI) maksudnya Raga ini berisi HAWA keinginan, dan sulit untuk dimatikan segala keinginan tersebut. Begitulah apa yang tertulis dalam Serat.
Manakala paduka meragukan siapakah yang membuat Raga? Siapakah yang telah memberikan nama? Sesungguhnya tak lain hanya Lata wal Huzza (sekali lagi Sabda Palon memakai istilah Tuhan dengan nama Latta wal Huzza). Manakala paduka tetap meragukan, jelas paduka bisa disebut kafir, kapiran (sia-sia) kelak jika paduka meninggal. Tidak mempercayai tulisan Gusti (yang ada didalam tubuh paduka sendiri), serta telah murtad kepada para leluhur Jawa semua. Kelak saat mati, Roh paduka akan menempel pada besi (pusaka), kayu, batu, menjadi demit yang menjaga tanah. Itu akan terjadi jika paduka tidak bisa membaca serat/wahyu yang ada didalam tubuh paduka sendiri, jelas kelak jika meninggal akan menjelma/lahir kembali menjadi kuwuk (binatang laut). Akan tetapi jika mampu membaca sastra yang tertulis didalam tubuh paduka, berasalnya manusia akan lahir kembali menjadi manusia. (Sungguh kelahiran kembali ini juga diceritakan dalam ajaran Timur Tengah), salah satu contohnya konon dulu saat Kangjeng Nabi Musa hidup, ada orang yang telah meninggal dan telah berada didalam kuburan, bisa hidup kembali, hidupnya bahkan bisa berganti menjadi Roh yang murni, bahkan bisa mencapai kedudukan (evolusi jiwa) yang baru.
Jika paduka memeluk agama Islam, seluruh masyarakat Jawa pasti akan ikut memeluk agama Islam semua. Kalau hamba ini, Badan Kasar berikut Badan Halus hamba sudah hamba gengam dan hamba kuasai, sudah mampu hamba jadikan satu, tak ada beda mana yang disebut dalam dan mana yang disebut luar lagi. Jadi hanya sesuai dengan keinginan hamba semata, menghilang dalam wujud gaib (berbadan halus) maupun mewujud (berbadan kasar seperti sekarang) bisa hamba lakukan seketika dan kapanpun juga. Jika hamba tengah berkeinginan mewujud, inilah wujud yang hamba pilih. Jikalau hamba berkeinginan untuk berwujud gaib, bisa terjadi seketika, jikalau hamba berkeinginan untuk berwujud wadag, bisa terlihat seketika juga. Raga hamba ini sudah bersifat Illahi, seluruh Raga hamba ini satu persatu memiliki nama sendiri-sendiri. Silakan ditunjuk, mana yang disebut Sabda Palon, sudah hamba halangi dengan wujud ragawi. Begitu mewujudnya hingga tidak bisa diketahui lagi mana sesungguhnya Sabda Palon. Hanya nama yang bisa dikenali. Sabda Palon sesungguhnya tidak tua juga tidak muda, tidak mati juga tidak hidup, hidupnya meliputi matinya dan matinya meliputi hidupnya, abadi selama-lamanya.”

Give Review :

Tag :

Contact : Hotline Email whatsapp

Tour Lempuyang

Tour Ubud

Tour Lovina Dolphin

Tour Bedugul Tanah Lot

Tour Uluwatu

Tour Kintamani

Paket Tour Nusa Penida

Paket Tour bali 4 day 3 night

Paket Tour bali 3 day 2 night

Tour Bali Rafting Telagawaja


Or Custom Tour


Send Booking

Mr. Mrs.

Date

Adult

Child

Pick Up Information


Share:
email
whatsapp
line
facebook
twitter
email whatsapp line facebook twitter
Blog /
Powered by tayatha